EraNusantara – Pasar Mangga Dua kembali menjadi sorotan internasional, kali ini dari Amerika Serikat, karena reputasinya sebagai pusat penjualan produk bajakan. Fenomena ini pun memunculkan pertanyaan mendasar: mengapa produk bajakan masih begitu diminati di Indonesia? Jawabannya ternyata lebih kompleks daripada sekadar harga murah.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, mengungkapkan bahwa peredaran barang palsu di Indonesia mencapai angka fantastis, sekitar Rp 291 triliun pada tahun 2022. Angka ini setara dengan 10% PDB sektor perdagangan besar dan eceran, menunjukkan betapa signifikan masalah ini. Bhima menunjuk beberapa faktor kunci. Pertama, daya beli masyarakat yang terbatas mendorong banyak orang memilih barang bajakan karena harganya jauh lebih terjangkau. Kedua, fenomena Fear of Missing Out (FOMO) membuat sebagian masyarakat tetap ingin memiliki barang bermerek, meskipun harus membeli versi palsunya. Ketiga, kurangnya sanksi bagi konsumen yang membeli barang palsu membuat masyarakat merasa aman. Keempat, penjualan barang palsu masih marak di berbagai marketplace dan toko fisik.

Untuk mengatasi masalah ini, Bhima menyarankan agar pemerintah memperketat pengawasan barang impor ilegal di perbatasan, memberikan sanksi tegas kepada pedagang dan produsen barang palsu, serta menggencarkan edukasi kepada masyarakat, terutama generasi muda, tentang pentingnya membeli barang asli.
Senada dengan Bhima, Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti, menambahkan bahwa produk bajakan telah lama ada dan tetap diminati karena harganya yang murah, meskipun kualitasnya rendah. Ia juga menyinggung adanya "pelindung" bagi peredaran barang bajakan, yaitu para rent seeker yang mengambil keuntungan dari situasi ini. Esther menyarankan dua langkah strategis: menjadikan harga barang original lebih terjangkau dan meningkatkan penegakan hukum terhadap produk bajakan.
Laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis oleh United State Trade Representative (USTR) pada Maret 2025, semakin menguatkan kekhawatiran ini. Laporan tersebut mencantumkan Pasar Mangga Dua sebagai salah satu lokasi penjualan produk bajakan di Indonesia, bersama beberapa marketplace lokal. Meskipun Indonesia telah berupaya meningkatkan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), USTR masih menyoroti pembajakan hak cipta dan pemalsuan merek dagang yang masih meluas.
Kesimpulannya, permasalahan produk bajakan di Indonesia merupakan isu kompleks yang membutuhkan solusi multi-faceted, melibatkan kerjasama antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif, Indonesia dapat benar-benar mengatasi banjirnya produk bajakan dan melindungi hak kekayaan intelektual.
Editor: Rockdisc