EraNusantara – Perbedaan gaya kepemimpinan antara Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dan pendahulunya, Sri Mulyani Indrawati, kini menjadi sorotan publik. Jika Sri Mulyani dikenal dengan pendekatan yang hati-hati dan disiplin dalam pengelolaan anggaran negara, Purbaya justru tampak mengambil langkah-langkah yang lebih agresif. Perbedaan ini memicu pertanyaan: siapakah yang lebih tepat dalam mengelola keuangan negara di tengah dinamika ekonomi saat ini?
Purbaya sendiri enggan berkomentar mengenai perbandingan tersebut. Saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (16/9/2025), ia hanya menyatakan bahwa kebijakannya merupakan implementasi manajemen fiskal yang tepat. "Saya tidak tahu. Yang saya tahu, beginilah cara menjalankan kebijakan fiskal yang baik," tegasnya.

Namun, inti dari perbedaan pendekatan ini terletak pada filosofi pengelolaan anggaran. Menurut Purbaya, kebijakan fiskal yang ideal adalah dengan memastikan anggaran yang telah dialokasikan benar-benar terserap. Ia menekankan pentingnya penggunaan anggaran secara optimal. "Dasarnya, ilmu fiskal yang wajar seperti ini. Ketika Anda sudah menganggarkan, habiskan. Kalau tidak berani menghabiskan, jangan direncanakan," jelasnya.
Salah satu contoh kebijakan agresif Purbaya adalah pemindahan saldo pemerintah sebesar Rp 200 triliun dari Bank Indonesia ke lima bank pelat merah. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan likuiditas perbankan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Keputusan ini diambil kurang dari seminggu setelah Purbaya menjabat sebagai Menkeu.
Perbedaan pendekatan antara Purbaya dan Sri Mulyani menunjukkan adanya dua filosofi berbeda dalam pengelolaan keuangan negara. Apakah pendekatan agresif Purbaya akan lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, atau pendekatan konservatif Sri Mulyani yang lebih aman? Waktu yang akan menjawabnya. Yang jelas, perbedaan ini memicu perdebatan menarik mengenai strategi optimal dalam mengelola keuangan negara di tengah tantangan ekonomi yang kompleks.
Editor: Rockdisc