EraNusantara – Demo sopir truk yang membanjiri beberapa daerah belakangan ini bukan sekadar aksi protes biasa. Di baliknya tersimpan permasalahan sistemik dalam pengelolaan logistik nasional yang selama ini diabaikan. Lebih dari sekadar penolakan terhadap kebijakan Zero ODOL (Over Dimensi Overload), aksi ini mencerminkan puncak gunung es dari praktik penegakan hukum yang tebang pilih dan sistem yang bermasalah.
Muhammad Akbar, pemerhati transportasi, mengungkapkan bahwa masalah ODOL telah berlangsung bertahun-tahun. Truk-truk bermuatan dan berdimensi melebihi batas dibiarkan beroperasi seolah-olah hal tersebut adalah hal yang wajar. Akibatnya, kerusakan jalan meningkat, angka kecelakaan meroket, dan biaya logistik membengkak. Namun, upaya penanggulangannya selalu setengah hati.

"Sosialisasi di jalan raya oleh polisi lalu lintas kepada para sopir truk dinilai kurang tepat dan rawan salah paham," ujar Akbar dalam keterangan tertulisnya. Sopir seringkali merasa cemas saat didekati polisi, mengira akan terjadi razia. Hal ini menciptakan persepsi bahwa penegakan hukum hanya menyasar sopir, bukan pihak-pihak lain yang bertanggung jawab.
Akbar menekankan bahwa sopir bukanlah pihak yang menentukan ukuran bak truk maupun jumlah muatan. Seringkali, mereka terpaksa menerima beban berlebih karena takut kehilangan pekerjaan. Demo yang dilakukan bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan seruan keadilan. Ia mendesak agar pemerintah tidak hanya menindak sopir, tetapi juga pihak-pihak lain yang terlibat, seperti pemilik barang, pemilik truk, dan karoseri.
Penanganan ODOL selama ini cenderung bersifat quick fix, dengan razia di jalan tanpa menyentuh akar masalah. Sementara sopir ditilang dan truk ditahan, pemilik barang, pemilik truk, dan karoseri hampir tak tersentuh hukum. Padahal, pelanggaran muatan merupakan hasil dari keputusan bisnis yang keliru dan sistematis, di mana satu truk dipaksa mengangkut dua kali kapasitasnya untuk menekan ongkos logistik.
Truk-truk dengan dimensi tak wajar masih beroperasi dengan bebas. Modifikasi yang dilakukan karoseri, bahkan yang melebihi batas, tetap lolos uji KIR. Sistem pengawasan yang lemah memungkinkan manipulasi data, pengurusan surat-surat palsu, dan pengelabuan pengawasan. Uji KIR yang seharusnya menjadi alat kontrol justru mudah disiasati.
Akbar mempertanyakan mengapa pelanggaran ini dibiarkan menjadi kebiasaan. Ia menegaskan bahwa sopir bukanlah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab. Penertiban ODOL harus dimulai dari hulu, bukan hanya di hilir. Pemerintah harus berani menyasar pemilik barang, pemilik armada, dan karoseri yang terlibat dalam pelanggaran. Imbauan dan sanksi administratif saja tidak cukup.
Kerugian akibat ODOL sangat besar. Kementerian Pekerjaan Umum mencatat anggaran negara hingga Rp 40 triliun per tahun digunakan untuk memperbaiki jalan rusak akibat kendaraan ODOL. Dana tersebut seharusnya dialokasikan untuk sektor lain yang lebih penting, seperti pendidikan dan kesehatan.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu mempercepat adopsi teknologi seperti fleet tracking, weigh-in-motion system, dan sistem pelaporan digital. Kerja sama dengan operator logistik besar juga penting untuk menumbuhkan budaya kepatuhan berbasis data. Indonesia dapat belajar dari Jepang dan Korea Selatan yang telah sukses menerapkan sistem logistik terintegrasi dan berbasis teknologi.
Dengan sistem yang transparan dan terintegrasi, potensi pelanggaran dapat dideteksi dan dicegah sejak dini. Penegakan hukum yang adil dan menyeluruh, yang menyasar seluruh pihak yang terlibat, sangat penting untuk menciptakan sistem logistik yang tertib dan efisien.
Editor: Rockdisc