EraNusantara – Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Bakrie, baru-baru ini kembali dari Amerika Serikat (AS) dengan kabar gembira. Hasil kunjungannya menunjukkan potensi signifikan peningkatan kerja sama perdagangan dan investasi antara kedua negara. Anindya, yang turut hadir dalam forum Bloomberg New Energy Finance, mengungkapkan peluang besar terwujudnya kesepakatan perdagangan yang menguntungkan, khususnya di sektor energi dan mineral kritis.
Dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Anindya memaparkan potensi besar Indonesia. "Kita memiliki cadangan mineral kritis melimpah, seperti nikel, tembaga, seng, bauksit, dan emas. Selain itu, Indonesia juga unggul dalam energi terbarukan, dengan target 103 gigawatt energi terbarukan dalam RUPTL 15 tahun mendatang, 75% di antaranya berasal dari sumber terbarukan," jelasnya. Ia menambahkan potensi biodiversitas Indonesia juga bisa dimanfaatkan untuk pasar karbon.

Kunjungan Anindya ke Washington DC dan pertemuannya dengan beberapa pejabat AS menghasilkan sejumlah poin penting. Salah satunya adalah upaya menyeimbangkan defisit perdagangan sebesar US$ 18 miliar antara kedua negara. Pemerintah Indonesia berencana mengalihkan impor minyak dan gas (migas) dari negara lain ke AS, serta meningkatkan impor pesawat terbang, kedelai, kapas, dan gandum. Sebaliknya, Indonesia akan mendorong ekspor garmen, sepatu, dan produk elektronik ke AS, yang saat ini menyerap 2,1 juta tenaga kerja.
Anindya memprediksi peningkatan nilai perdagangan hingga dua kali lipat dalam 2-3 tahun mendatang. "Jika nilai perdagangan mencapai US$ 40 miliar atau lebih, dalam waktu 2-3 tahun bisa meningkat menjadi US$ 80 miliar, bahkan US$ 120 miliar dalam 4 tahun," ujarnya optimistis. Peningkatan ini diperkirakan akan menyerap hingga 200 ribu tenaga kerja baru.
Selain itu, kerja sama hilirisasi mineral kritis juga menjadi fokus utama. Indonesia akan mengekspor produk setengah jadi nikel ke AS untuk diolah menjadi barang jadi, seperti baterai. Terakhir, kemudahan investasi akan difasilitasi di kedua negara, dengan kehadiran Danantara, sebuah aset manajemen dengan nilai US$ 900 miliar, sebagai katalis penting.
Anindya menekankan bahwa ini adalah peluang besar di tengah tantangan, asalkan negosiasi antara Indonesia dan AS berjalan lancar. Keberhasilan ini bergantung pada bagaimana kedua negara mampu memanfaatkan momentum positif ini untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.
Editor: Rockdisc