EraNusantara – Kenaikan drastis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, telah memicu gelombang protes besar dari masyarakat. Meskipun pemerintah daerah akhirnya membatalkan kenaikan tersebut, desakan agar bupati mundur tetap menggelinding deras. Kejadian ini menunjukkan betapa kebijakan pajak yang tidak transparan dan memberatkan rakyat bisa berdampak fatal, bahkan mengancam karier politik seorang pemimpin. Isu ini pun bukan sekadar masalah ekonomi semata, melainkan juga politik yang berpotensi memicu gejolak sosial yang lebih luas. Pajak, pada dasarnya, merupakan kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat. Jika kontrak ini dilanggar—baik melalui ketidakadilan, korupsi, atau kebijakan yang keliru—konsekuensinya bisa sangat berbahaya bagi stabilitas pemerintahan. Presiden Prabowo Subianto perlu segera mengambil langkah strategis untuk meredam gejolak ini sebelum meluas ke daerah lain yang mungkin mengalami ketidakadilan pajak serupa.
Lebih jauh lagi, kita perlu mewaspadai potensi isu pajak yang rawan dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Tujuan awal demonstrasi rakyat bisa saja terdistorsi atau bahkan hilang sama sekali akibat intervensi politik. Beberapa metode penunggangan isu politik yang perlu diwaspadai antara lain: pemanfaatan isu populer untuk kepentingan politik, pengalihan fokus isu dari tujuan semula, penyisipan agenda tersembunyi, infiltrasi dan kooptasi dalam struktur kepemimpinan gerakan, serta polarisasi isu untuk menciptakan perpecahan. Pemerintah Presiden Prabowo harus sangat berhati-hati. Gerakan yang awalnya murni menuntut keadilan bisa disusupi dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mencapai agenda terselubung mereka.

Dari perspektif ekonomi politik, pajak merupakan instrumen penting bagi negara untuk menjalankan fungsinya, sebagaimana dijelaskan Henry Fawcett dalam "Manual of Political Economy". Fawcett, ekonom klasik sekaligus politisi Inggris, menganalisis pajak dari sudut pandang ekonomi politik, menekankan prinsip-prinsip perpajakan yang adil dan efisien. Ia mengadopsi dan mengembangkan "Canon of Taxation" Adam Smith, yang terdiri dari empat prinsip: kesetaraan (setiap warga negara berkontribusi proporsional dengan kemampuannya), kepastian (ketidakpastian menciptakan ketidakadilan dan korupsi), kemudahan (pembayaran pajak harus mudah), dan ekonomi (biaya administrasi tidak boleh terlalu besar). Pajak yang berlebihan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dengan menghambat akumulasi modal dan mengurangi insentif investasi.
Hubungan negara dan warga negara dalam konteks pajak bukan hanya transaksi ekonomi, tetapi juga politik. Pajak memberikan kekuatan finansial kepada negara untuk menjalankan fungsinya, sekaligus menjadi alat alokasi sumber daya dari sektor privat ke publik, termasuk redistribusi kekayaan.
Pemikiran ekonomi Islam, khususnya Ibnu Khaldun, Al-Ghazali, dan Ibnu Taimiyah, juga memberikan perspektif yang kaya tentang perpajakan. Ibnu Khaldun menekankan pajak sebagai pendorong produktivitas, bukan hanya sumber pendapatan, serta bahaya pajak yang terlalu tinggi. Ia juga menekankan prinsip keadilan dan proporsionalitas. Al-Ghazali mengizinkan pajak tambahan dalam kondisi darurat, asalkan adil dan transparan. Sementara Ibnu Taimiyah cenderung menolak pajak tambahan kecuali dalam kondisi darurat yang sangat ketat. Menariknya, teori Kurva Laffer tentang penurunan tarif pajak yang meningkatkan pendapatan pajak total, ternyata sudah diutarakan Ibnu Khaldun berabad-abad sebelumnya.
Praktik perpajakan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk kompleksitas regulasi, kesenjangan kepatuhan dan penegakan hukum, ketidakadilan beban pajak, kualitas layanan administrasi pajak, dan pemanfaatan penerimaan pajak. Korupsi di kalangan pegawai pajak juga menjadi masalah serius yang merusak kepercayaan publik.
Sepanjang sejarah, isu pajak berpotensi meruntuhkan pemerintahan. Pajak yang tidak adil bisa menjadi simbol penindasan, memicu pemberontakan, dan revolusi. Perang Belasting di Sumatera Barat (1908), Boston Tea Party (1773), dan Revolusi Prancis (1789) merupakan contoh sejarah yang membuktikan hal ini. Bahkan di era modern, kebijakan pajak yang buruk dapat menyebabkan krisis politik dan jatuhnya pemerintahan, seperti kasus Perdana Menteri Inggris Liz Truss.
Kesimpulannya, masalah pajak di Pati bukan sekadar masalah lokal, tetapi memiliki implikasi ekonomi dan politik yang luas. Pemerintah perlu bertindak bijak, adil, dan transparan dalam kebijakan perpajakannya untuk mencegah gejolak sosial yang lebih besar.
Penulis: Dr Iramady Irdja – Analis Ekonomi Politik- Mantan Pegawai Bank Indonesia
Editor: Rockdisc