EraNusantara – Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah menuai kontroversi. Aturan yang membatasi produksi dan distribusi air minum kemasan di bawah 1 liter ini mendapat kecaman keras dari berbagai pihak, termasuk Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bali. Mereka menilai kebijakan tersebut terlalu interventif dan berpotensi merugikan industri, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Ketua Apindo Bali, I Nengah Nurlaba, mengungkapkan kekhawatirannya akan dampak negatif SE tersebut terhadap keberlangsungan usaha industri air kemasan di Bali. "Tujuan pelarangan sampah memang baik, tetapi mengapa harus air minum di bawah satu liter? Ini sudah masuk ranah makanan dan minuman," tegas Nurlaba. Ia mendesak pemerintah provinsi Bali untuk mempertimbangkan ulang kebijakan ini agar tidak memukul UMKM dan pedagang kecil.

SE tersebut dikeluarkan sebagai upaya Pemprov Bali dalam mengatasi masalah sampah yang mencapai 3.436 ton per hari. Gubernur Wayan Koster menyorot tingginya persentase sampah yang dibuang sembarangan (23%), termasuk sampah plastik yang mencemari pantai Bali. Namun, fokus pada larangan air minum kemasan berukuran kecil dinilai keliru. Data Sungai Watch menunjukkan bahwa limbah air minum kemasan botol PET hanya 4,4% dari total sampah plastik di Bali, jauh lebih rendah dari sampah sachet (5,5%), kantong plastik (15,2%), dan plastik bening (16,2%).
Ketua Ikatan Pemulung Indonesia (IPI), Pris Polly Lengkong, juga menyayangkan kebijakan tersebut. Ia berpendapat bahwa membangun industri daur ulang jauh lebih efektif daripada membatasi produksi air minum kemasan. IPI sendiri telah berhasil mengolah lebih dari 80% sampah plastik di Bali, namun terkendala minimnya industri daur ulang. Ekspor hasil olahan limbah plastik ke Jawa menunjukkan inefisiensi pengelolaan sampah di Bali.
Senada dengan itu, Anggota DPD asal Bali, Niluh Djelantik, menekankan agar pemerintah tidak mengeluarkan aturan yang merugikan UMKM dan pariwisata Bali. Ia mengusulkan solusi alternatif, seperti menetapkan ukuran minimum air kemasan botol dan aturan pengelolaan botol yang lebih tegas.
Kontroversi ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah kebijakan pembatasan air minum kemasan berukuran kecil merupakan solusi tepat untuk mengatasi masalah sampah di Bali, atau justru langkah yang kontraproduktif dan merugikan ekonomi daerah? Perdebatan ini masih berlanjut, dan menunggu respon lebih lanjut dari pemerintah Provinsi Bali.
Editor: Rockdisc