EraNusantara – Konflik Timur Tengah yang memanas mengancam perekonomian Indonesia. Potensi kenaikan biaya logistik hingga 30% mengintai akibat rencana penutupan Selat Hormuz, jalur perdagangan global utama. Hal ini disampaikan Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Anggawira, yang mengungkapkan kekhawatirannya atas dampak signifikan terhadap harga barang impor.
Anggawira memprediksi lonjakan biaya logistik akan mencapai 20-30%, terutama untuk komoditas yang diimpor dari Timur Tengah. Dampaknya akan terasa langsung pada harga barang di pasaran, khususnya komoditas energi. "Kalau wilayah itu goyang, otomatis pasti akan berdampak ke semuanya," tegasnya. Kenaikan harga minyak mentah Brent pun telah terjadi, melampaui asumsi APBN yang menetapkan harga US$ 80 per barel.

Situasi ini mendesak Indonesia untuk memperkuat ketahanan ekonomi dalam negeri. Anggawira menekankan pentingnya ketahanan pangan dan energi, serta optimalisasi sumber daya domestik. "Kita harus benar-benar menghemat semua yang kita miliki dan mengoptimalkan potensi yang ada di dalam negeri," ujarnya. Ia juga menyoroti perlunya penghematan dan fokus pada penggunaan sumber daya lokal.
Hipmi telah mengajukan beberapa rekomendasi kepada pemerintah, terutama untuk mendukung Usaha Menengah (UM). Anggawira mengusulkan skema keringanan kredit khusus untuk pengusaha menengah, dengan plafon kredit antara Rp 5 miliar hingga Rp 100 miliar. "Kucuran untuk pelaku UKM sudah banyak, tapi belum banyak yang memperhatikan pengusaha level menengah," jelasnya. Menurutnya, dukungan ini krusial untuk mendorong inovasi dan daya saing di tengah kondisi ekonomi global yang tak menentu. Ia juga menambahkan bahwa menekan suku bunga kredit investasi untuk pengusaha menengah sangat penting agar mereka bisa bertahan dan tetap kompetitif.
Dengan situasi geopolitik yang tak menentu, langkah antisipatif pemerintah menjadi kunci untuk meredam dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia.
Editor: Rockdisc