EraNusantara – Pemerintah serius menanggapi risiko tinggi yang dihadapi para Anak Buah Kapal (ABK) di sektor perikanan. Langkah konkret pun diambil dengan mengkaji ratifikasi Konvensi ILO No. 188 tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Dorongan ini, menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), datang dari masyarakat sipil yang prihatin akan keselamatan para ABK.
Mohamad Abdi Suhufan, Tenaga Ahli Menteri KP Bidang Perlindungan Nelayan dan Awal Kapal Perikanan, mengakui bahwa perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja ABK telah ada. Namun, ia menekankan perlunya peningkatan signifikan pada beberapa aspek krusial. "Risiko kerja ABK di laut sangat tinggi. Perlindungan yang sudah ada perlu dioptimalkan, terutama terkait keselamatan kerja," tegas Abdi dalam konferensi pers di Kantor KKP, Jakarta, Senin (26/5/2025).

Strategi pemerintah untuk melindungi ABK melibatkan payung hukum komprehensif yang akan dijalankan secara sinergis oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), KKP, dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Hal ini diharapkan mampu memberikan perlindungan yang lebih menyeluruh dan efektif.
Soal jaminan sosial, Abdi menjelaskan bahwa kewajiban pemberian BPJS Ketenagakerjaan kepada ABK dan nelayan sepenuhnya berada di tangan pemberi kerja. Data KKP per 31 Desember 2024 mencatat 519.848 nelayan/ABK telah terlindungi BPJS Ketenagakerjaan. Namun, target perlindungan sosial ini masih bergantung pada jumlah nelayan dan ABK yang bekerja di sektor perikanan tangkap. "Pemberi kerja wajib memberikan asuransi kepada ABK yang bekerja di kapal penangkapan ikan," tegasnya.
Lebih lanjut, Abdi menambahkan bahwa Undang-Undang Perlindungan Nelayan juga memayungi pemberian jaminan sosial bagi nelayan kecil. Pemerintah berkomitmen untuk memastikan kesejahteraan dan keselamatan seluruh pekerja di sektor perikanan, baik ABK di kapal besar maupun nelayan kecil. Upaya ini diharapkan mampu mengurangi risiko kerja dan meningkatkan kualitas hidup para pahlawan laut Indonesia.
Editor: Rockdisc