EraNusantara – Di tengah kesepakatan pembelian jutaan ton kedelai dari Amerika Serikat, China ternyata masih setia mengimpor kedelai dari Rusia. Langkah ini menimbulkan pertanyaan, apa sebenarnya yang terjadi di balik layar perdagangan komoditas global ini? Pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Korea Selatan pekan lalu memang menghasilkan komitmen pembelian kedelai dari AS. Namun, fakta bahwa impor dari Rusia tetap berjalan menunjukkan dinamika yang lebih kompleks.
China mengimpor kedelai non-GMO (non-Genetically Modified Organism) dari Rusia. Kedelai ini memiliki pangsa pasar tersendiri. Produk kedelai Rusia ini umumnya digunakan untuk produksi makanan seperti tahu, susu kedelai, hingga kecap.

Mengutip eranusantara.co dari Reuters, Rusia menduduki peringkat kelima sebagai eksportir kedelai terbesar ke China pada tahun 2024. Musim ini, ekspor Rusia ke China diperkirakan mencapai 800 ribu ton kedelai non-GMO.
Menteri Pertanian Rusia, Oksana Lut, bahkan telah mengunjungi China minggu ini untuk bertemu dengan Menteri Pertanian dan Urusan Pedesaan Han Jun di Beijing. Agenda utama kunjungan ini adalah menawarkan perluasan ekspor kedelai Rusia ke China. Pertemuan ini terjadi bersamaan dengan pengumuman komitmen China untuk membeli 12 juta ton kedelai dari AS.
Perbedaan mendasar terletak pada jenis kedelai yang diimpor dari kedua negara. Amerika Serikat memasok kedelai transgenik atau GMO ke China, yang mayoritas digunakan untuk pakan ternak. Sementara itu, Rusia fokus pada kedelai non-GMO yang lebih diminati untuk konsumsi manusia langsung.
Rusia sendiri memprediksi panen kedelai tahun ini akan mencapai rekor 9 juta metrik ton, sehingga mereka memiliki surplus sekitar 1 juta ton yang siap diekspor. Kebijakan Rusia yang melarang pertanian berbasis rekayasa genetik sejak 2016 juga menjadi strategi untuk merebut pangsa pasar pangan non-GMO global yang terus berkembang.
Editor: Rockdisc