EraNusantara – Pergantian menteri keuangan selalu menjadi perhatian publik. Penggantian terbaru ini tak terkecuali, bahkan sempat memicu reaksi negatif di pasar. IHSG sempat tertekan dan rupiah melemah terhadap dolar AS. Namun, gejolak ini hanya sementara; IHSG dan nilai tukar rupiah segera pulih. Tantangan besar kini menanti menteri keuangan baru.
Menteri keuangan bukan hanya teknokrat, tetapi juga aktor kunci politik-ekonomi yang menentukan kebijakan fiskal, stabilitas makro, dan sentimen pasar. Tantangan utama yang dihadapi adalah mengatasi anomali pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi di atas 5% memang terlihat positif, namun realitanya menunjukkan sejumlah kejanggalan.

Gelombang PHK meningkat, terutama di sektor manufaktur dan tekstil, akibat melemahnya permintaan global dan membanjirnya impor pakaian bekas. Hal ini menciptakan pengangguran terbuka dan terselubung. Lebih mengkhawatirkan lagi, pertumbuhan ekonomi justru mendorong perpindahan pekerja dari sektor formal ke informal, memperlihatkan struktur ekonomi yang rapuh.
Data juga menunjukkan penurunan tabungan masyarakat menengah bawah, fenomena yang dikenal sebagai "mantab" (makan tabungan). Ini berarti pertumbuhan ekonomi belum meningkatkan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah bawah, dan ketimpangan pendapatan tetap tinggi. Kredit perbankan juga melambat, dipicu oleh melemahnya permintaan kredit dari dunia usaha dan peningkatan NPL. UMKM pun tertekan.
Menteri keuangan baru tak cukup hanya mengejar angka pertumbuhan. Kualitas pertumbuhan jauh lebih penting. Ia harus menciptakan pertumbuhan yang menciptakan lapangan kerja layak, mendorong UMKM naik kelas, memperluas kelas menengah, dan memperkuat struktur ekonomi daerah.
Program penambahan likuiditas perbankan senilai Rp 200 triliun memang dipahami, namun ini hanya solusi jangka pendek dan berisiko. Likuiditas perbankan sudah cukup, masalah utamanya adalah rendahnya permintaan kredit. Menambah likuiditas di tengah permintaan rendah dan risiko tinggi justru bisa kontraproduktif.
Sebagai alternatif, diperlukan kebijakan yang mampu menciptakan permintaan pasar kredit. Salah satunya adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG). MBG tak hanya fokus pada gizi anak sekolah, tetapi juga sebagai penggerak ekonomi daerah berbasis produk lokal, dipadukan dengan penguatan Koperasi Merah Putih di setiap desa. Integrasi MBG dan Koperasi Merah Putih diharapkan menciptakan ekosistem ekonomi yang kuat.
Langkah menteri keuangan meminta laporan real time dari Badan Gizi Nasional (BGN) adalah langkah tepat untuk mendorong MBG sebagai motor penggerak perekonomian, mewujudkan konsep "desa mengepung kota" untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih merata dan adil. Meskipun penuh tantangan, MBG dan penguatan koperasi, jika dirancang sebagai investasi jangka panjang, bisa memperkuat basis pajak dan pendapatan negara yang berkelanjutan.
Editor: Rockdisc