EraNusantara – Gejolak penolakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di sejumlah daerah di Indonesia memaksa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) turun tangan. Setelah protes keras warga Kabupaten Pati atas kenaikan PBB hingga 250%, Kemendagri memastikan sejumlah kepala daerah telah menunda bahkan mencabut kebijakan kenaikan tersebut. Informasi ini tentu melegakan masyarakat yang merasa terbebani.
Plh. Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah (Keuda) Kemendagri, Horas Maurits Panjaitan, menjelaskan akar masalahnya. Kenaikan drastis PBB di Pati, misalnya, disebabkan oleh penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang terakhir kali dilakukan pada 2011. "Kenaikan NJOP selama 14 tahun sekaligus membuat besaran PBB melonjak hingga 300%," ujar Maurits dalam Rapat Kerja bersama Komisi II DPR RI. Ia menyarankan kenaikan PBB dilakukan bertahap, maksimal 15% setiap tiga tahun, sesuai UU Nomor 1 Tahun 2022. Kenaikan yang lebih besar hanya dibenarkan dalam kondisi tertentu dan harus melalui kajian mendalam.

Maurits menekankan pentingnya memperhatikan daya beli masyarakat. Jika kenaikan PBB memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah, maka harus ada pengurangan. Bahkan, jika kenaikan dilakukan secara masif dan menimbulkan penolakan, kebijakan tersebut harus ditunda atau dicabut. "Setelah koordinasi, banyak daerah yang sudah menunda atau mencabut Perkada-nya, termasuk Bone dan Jombang," tambahnya.
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya Sugiarto, menegaskan bahwa kenaikan PBB bukan sepenuhnya wewenang Kemendagri. Namun, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, telah meminta pemetaan ulang kenaikan PBB di daerah dan sosialisasi yang lebih maksimal kepada seluruh pemangku kepentingan. Hal ini bertujuan agar kebijakan kenaikan PBB tidak lagi menimbulkan gejolak di masyarakat.
Dengan adanya langkah tegas Kemendagri ini, diharapkan penyesuaian PBB di masa mendatang dapat dilakukan secara bijak dan berkeadilan, tanpa membebani masyarakat.
Editor: Rockdisc