EraNusantara – Kabar mengejutkan datang dari sektor industri nasional. Lebih dari 100.000 pekerja di ambang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat pembatasan pasokan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Situasi ini memicu kekhawatiran besar di kalangan investor dan mengancam pertumbuhan ekonomi.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arief, mengungkapkan keprihatinan mendalam atas kebijakan pembatasan HGBT ini. Dalam keterangan tertulisnya, Febri menyebut kebijakan tersebut sebagai “kado buruk” di tengah perayaan HUT RI ke-80. "Seharusnya seluruh rakyat Indonesia merayakan kemerdekaan, namun kabar ini justru menimbulkan luka bagi industri," ujarnya.

Pembatasan pasokan gas murah ini berdampak signifikan pada berbagai industri, termasuk pupuk, kaca, keramik, baja, oleokimia, dan sarung tangan karet. Gas bumi berperan vital sebagai bahan baku dan sumber energi dalam proses produksi. Ironisnya, pasokan gas dengan harga tinggi (US$ 15-17 per MMBTU) justru lancar, sementara pasokan gas murah (US$ 6,5 per MMBTU) dibatasi.
"Ini sangat aneh. Mesin produksi bisa berhenti dan butuh biaya besar untuk menghidupkannya kembali," jelas Febri. Lonjakan harga gas otomatis akan meningkatkan harga produk akhir, melemahkan daya saing produk dalam negeri di pasar internasional.
Kemenperin menilai alasan keterbatasan pasokan gas tidak masuk akal. "Jika memang terbatas, mengapa industri masih bisa membeli gas dengan harga tinggi? Ini patut dipertanyakan," tegas Febri. Kebijakan ini juga bertolak belakang dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang menekankan kemandirian energi, pangan, dan hilirisasi industri. Pembatasan HGBT mengancam ketahanan pangan karena berdampak pada ketersediaan pupuk.
Febri optimistis, jika pasokan gas murah tetap terjaga dan penerimaan pajak difokuskan pada produk hilir, target pertumbuhan ekonomi 8% masih dapat tercapai. "Dengan kebijakan tepat, target itu bukan hanya mimpi," tutupnya. Situasi ini menuntut pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk mengatasi krisis dan menyelamatkan lapangan kerja.
Editor: Rockdisc