EraNusantara – Mei dan Juni 2025 diramaikan dengan libur panjang dan cuti bersama. Namun, di balik euforia liburan, tersimpan cerita miris bagi pelaku usaha. Produktivitas merosot, sementara pengeluaran gaji tetap jalan. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?
Ekonom senior INDEF, Tauhid Ahmad, mengungkapkan kekhawatirannya. Menurutnya, total 16 hari libur nasional ditambah sekitar 10 hari cuti bersama menciptakan dampak signifikan. "Jadwal liburan yang padat ini jelas mengurangi produktivitas, terutama di sektor industri. Perusahaan terpaksa meliburkan karyawan, khususnya untuk cuti bersama, bukan hanya libur nasional," jelas Tauhid kepada eranusantara.co, Senin (12/5/2025).

Lebih lanjut, Tauhid menyoroti kebijakan cuti bersama yang bersifat wajib. Ia berpendapat, cuti seharusnya menjadi hak pekerja, bukan kewajiban yang memotong jatah cuti tahunan. "Dulu, cuti diajukan sesuai kebutuhan individu. Sekarang dipaksa ambil cuti bersama. Ini perlu dikurangi. Cuti bersama seharusnya opsional, bukan dijadwalkan," tegasnya.
Ironisnya, cuti bersama yang seharusnya mendongkrak perputaran ekonomi justru berdampak sebaliknya. Tauhid menjelaskan, "Harapannya, masyarakat akan bepergian atau berbelanja. Tapi, dengan kondisi ekonomi saat ini, banyak yang memilih di rumah karena keterbatasan dana dan minimnya insentif. Pergerakan ekonomi akibat liburan jadi jauh lebih kecil."
Sebaliknya, jika karyawan diberi pilihan untuk bekerja, perputaran ekonomi justru akan lebih baik. "Bayangkan, jika mereka ke kantor, akan ada aktivitas transportasi, makan, minum, dan lain-lain. Sekarang, mereka di rumah, tidak berwisata. Saya sarankan, cuti bersama cukup dua momentum saja: Lebaran, Natal, dan Tahun Baru. Selebihnya, dibebaskan," pungkas Tauhid.
Kesimpulannya, kebijakan cuti bersama perlu dievaluasi agar tidak berdampak negatif terhadap perekonomian. Mungkin sudah saatnya kita berpikir ulang tentang efektivitas kebijakan ini.
Editor: Rockdisc