EraNusantara – Gedung Putih akan menjadi saksi bisu pertemuan krusial antara Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dan Perdana Menteri Kanada, Mark Carney. Pertemuan yang dijadwalkan ini bertujuan meredakan ketegangan yang telah lama membayangi hubungan kedua negara akibat penerapan tarif impor agresif dari AS terhadap Kanada. Ketegangan ini semakin terasa ironis mengingat Kanada merupakan mitra dagang terbesar kedua AS dan sekutu dekat dalam berbagai sektor, termasuk keamanan nasional dan perdagangan.
Carney, yang baru saja memimpin Partai Liberal meraih kemenangan dalam pemilu April lalu, telah bersikap menantang terhadap kebijakan tarif Trump. Dalam pidatonya pasca-pemilu, Carney menyatakan bahwa Kanada telah melewati keterkejutan akibat kebijakan AS, namun menekankan pentingnya belajar dari pengalaman tersebut. Pernyataan ini menunjukkan sikap tegas Kanada dalam menghadapi tekanan ekonomi dari Negeri Paman Sam.

Hubungan dagang AS-Kanada yang selama beberapa dekade berjalan harmonis, kini terguncang akibat tarif tinggi yang diberlakukan Trump. Perang dagang ini tak hanya merusak hubungan bilateral, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi kedua negara. Meskipun kedua negara terikat dalam perjanjian perdagangan bebas USMCA (yang menggantikan NAFTA), Trump tetap menerapkan tarif 25% terhadap barang impor dari Kanada, meski sempat ditangguhkan sementara setelah janji kerjasama mengatasi masalah fentanil dan imigrasi ilegal. Namun, ancaman tarif 25% tetap membayangi, khususnya untuk barang impor yang tak memenuhi persyaratan USMCA. Belum lagi tarif tambahan untuk mobil, baja, dan aluminium yang juga telah diumumkan Trump.
Sebagai balasan, Kanada juga menerapkan tarif 25% terhadap barang impor AS senilai miliaran dolar, termasuk bea tambahan atas barang-barang lainnya dan mobil impor. Dampak perang dagang ini sangat terasa. Kanada menyumbang 14% dari total perdagangan AS, sementara AS merupakan tujuan ekspor utama Kanada. Berbagai sektor, mulai dari industri kayu lunak hingga otomotif, terkena imbas negatif. Bahkan, CEO General Motors, Mary Barra, menyatakan kerugian perusahaan akibat tarif tersebut mencapai miliaran dolar. Kisah serupa juga dialami pengusaha kecil, seperti Beth Fynbo Benike, pemilik perusahaan produk bayi, yang harus menanggung biaya pengiriman yang membengkak.
Pertanyaan besar kini adalah: akankah pertemuan Trump-Carney mampu mencairkan ketegangan dan menemukan solusi yang menguntungkan kedua negara? Atau, apakah perang dagang ini akan terus berlanjut, mengancam stabilitas ekonomi dan hubungan bilateral AS-Kanada? Kita tunggu saja hasilnya.
Editor: Rockdisc