EraNusantara – Kabar mengejutkan datang dari Amerika Serikat. Presiden Donald Trump baru-baru ini mengumumkan kenaikan biaya visa H-1B untuk pekerja asing terampil hingga US$ 100.000 atau setara Rp 1,6 miliar (kurs Rp 16.000). Kebijakan kontroversial ini langsung memicu kepanikan massal, terutama di kalangan pekerja asal India dan China yang tengah berada di negara asal mereka.
Informasi yang dilansir eranusantara.co menyebutkan, perusahaan-perusahaan teknologi raksasa seperti Microsoft, Amazon, Alphabet, dan Goldman Sachs langsung mengirimkan notifikasi darurat kepada para karyawan pemegang visa H-1B. Mereka diinstruksikan untuk segera kembali ke AS sebelum batas waktu yang ditentukan, mencegah potensi terjebak di luar negeri akibat kebijakan baru ini.

Suasana panik terasa nyata. Seorang insinyur di perusahaan teknologi besar mengungkapkan dilema yang dihadapi, "Ini situasi sulit, kami harus memilih antara keluarga dan pekerjaan di sini," ujarnya kepada Reuters. Cerita serupa bergema di media sosial China, Rednote. Para pekerja yang baru saja tiba di tanah air terpaksa memotong liburan dan bergegas kembali ke AS, menggambarkan situasi bak mimpi buruk.
Pengalaman pahit masa pandemi Covid-19 kembali terbayang. Kala itu, banyak pekerja asing juga berebut pulang ke AS sebelum larangan perjalanan diberlakukan. Kini, bayang-bayang serupa menghantui mereka. Kebijakan ini, menurut beberapa pengamat, mirip dengan situasi darurat.
Meskipun seorang pejabat Gedung Putih mengklarifikasi bahwa aturan ini hanya berlaku bagi pemohon baru, bukan pemegang visa yang ada atau yang ingin memperbarui, ketidakpastian tetap membayangi. Kepanikan tetap terasa, mengingat rekam jejak pemerintahan Trump yang fokus pada pembatasan imigrasi.
Langkah Trump ini, yang dianggap sebagai upaya paling signifikan untuk merombak program visa H-1B, dijelaskan pemerintah sebagai upaya untuk menekan upah dan membuka lebih banyak lapangan kerja bagi pekerja teknologi AS. Namun, bagi ribuan pekerja asing yang kini berlomba pulang, ini lebih terasa sebagai ancaman nyata terhadap masa depan karier mereka di Negeri Paman Sam.
Editor: Rockdisc